Ziarah Ke makam Cinta



diatas makam nisan-nisan cinta
ku akrapi angin, daun berguguran
tangis romantisme yang lebat
sombangku dulu tertulis dalam almanak
sangkaan tendensi dalam munafik yang berkarat
aku lupa tak mengakui badai, ke-alfa-an
ditahan akar pengetahuan putih dan hitam

kubaca ayat-ayat yang tulus, kudoakan arwah keluguan
meski kurindu senyumnya yang kekanak-kanakan.
jasad cinta telah mati
dimana arwahnya bersemayam,
doa kuucap, membentang harap
bila kau terlahir dimasa kini, aku telah berjanji
menghapus kesalah fahaman
dari uraian-uraian fikiran, mengakrapi cinta
dalam hitungan angka dan kata.
cahaya bulan retak berlahan padam
berganti fajar terbit diatas kelokan lubuk sungai berbatu yang dalam

Aroma Cahaya















Apakah engkau tahu apa rasa aroma cahaya
Apa tuturnya bila ia berkata-kata
Harum mawar atau bunga sepatu
Hanya kata yang satu atau tanda seru

Yang gelap mungkin bukan khianat
Yang terang pula belum tentu  penunjuk  arah
Yang tahu biasa diam
Suara, arwah, aroma dan kata-kata cahaya hanya berkata’ iya..!
Itulah aku dijalanmu, mendengar,
menunggu redup dan terang ucapnya

Tak ada yang musti diburu, tak ada sang pemburu
Tak ada yang menunggu dan tak ada yang ditunggu
Cepat dan lambat hanyalah irama dalam satu catatan lagu
Biar pula ada ketiadaan yang ada dalam keadaan

Dan cahaya disitu nelusup ke dalam kata dan sejuta aroma

Pesan Singkat

                              











Pada Hamidah Ali
dengan gerimis hujan di tanah kelahiranmu pagi itu
terimalah pesan singkat yang ku kirimkan melalui angin
dan aku ingin mengajakmu ke sebuah rumah pohon
di atas dataran tinggi tanpa semak dan putri malu
lalu memutari hari dalam kendaraan berdinding cahaya
terbang melampaui awan, sembunyi dari bising,
debu juga asap pabrik dan sisa pembakaran hutan
               
dengan hujan gerimis  di tanah kelahiranmu pagi itu
bacalah pesan singkat yang kukirimkan melalui angin ke nafasmu
tinggalkan ruang tidur berdinding emas warisan para leluhur
yang mungkin pula telah lama lahir oleh cemas berkemas balas

dengan hujan gerimis  di tanah kelahiranmu pagi itu
aku ingin membiakan diri dalam takdir biasa, berbicara dengan
bahasa cuaca, lalu menanam bibit pohon doa di kebun waktu

terimalah pesan singkat dari dalam jantungku
yang telah kukirim ke dalam genggamanmu
aku ingin bernafas sepanjang waktu di atas kulit wajahmu

lalu menyanyikan lagu padamu negeri dengan lidah dan hatimu

Terbuai Dalam Mimpi

dimana aku
kini dan nanti
dimana dirimu
kini dan nati

apakah sama seperti ini
ataukah .... dan ....
mungkinkah terjadi .....
atau hanya mimpi ....

terbayang akan mimpi ....
sambil berlalu kemudian
terbangun tanpa ada di ...
walau hanya mimpi

Surga mimpi di tanah Khatulistiwa



Pada:W,b

Di lidah ombak pantai merah abu ku kemas mimpi itu
bisik angin malam dan kantuk kau simpan dalam kabut
pada butiran garam pulau-pulau tempat pertapaan dimulai
kapal-kapal pelayaran menyepuh lamunan 

gugur bunga kertas terkubur ke dalam genggaman malam
lalu sunyi di cakrawala  memainkan seruling emas dan tembaga
kekuasaan  telah dikutuk raja-raja mabuk dalam perniagaan
memburu sisa cahaya jantung nafsu yang kekal dan lincah   

akan kau bawa mazhab keinginan dari zaman karang logika
sebab-sebab jarak dan perjalanan telah kau tempuh
cahaya rembulan kebiruan di mata yang samar
adalah ratapan bambu runcing kata-kata mencumbui silsilah,

bangunan hasrat gading purba akan segera lebur dan runtuh,
makam-makam ingatan pada potret cahaya warna negeri
akan segera labuh
seribu malam dalam suara terompet keramat peperangan
mengekalkan sumpah kemerdekaan yang mati suri

untuk memungut anak dan busur panah perayaan kejalan sungai nafas
massa menuju surga mimpi di pulau-pulau tanah khatulistiwa
membaca kembali artefak darah dalam daging goa sejarah nusa
hati yang bangkit meski tak tersimpan dalam peti lembaga

warna cahaya di angkasa kelak menuntunmu kembali dalam sila kelima
lalu bulan sabit, purnama dan gerhana akan berubah warna menjadi putih dan merah
dan kau akan mengikat segalanya, kemilau emas, pekat air dalam tanah serta
pohon-pohon raksasa  milikmu sendiri yang pernah di jarah
ke dalam waktu yang cukup lama
metro/10/05/2012

UDARA Informasi: Kisah jambu air dan Benalu

Rasionalisasi Dendam dan Kenangan


Untuk apa kau perlu menahan dera cemburu di dalam dada,
bila aku nyatanya telah gagal mendekor janur kuning
di depan gerbang jalan menuju rumahmu
cinta telah lama menjadi prasangka atau kegagalan kita pak-turut
bermuka dua dihadapan penghulu dan sanak saudara

Buat apa kau perlu menahan siksa
diam dalam kamar rumah se-puntung bara,
membaca buku harian mantan pengacara, 
menyesali warna dan gaya tulisan, 
atau tanda baca yang terlampau berlebihan
setelahnya lalu kau tutupi hari dengan selimut 
yang bergambar kepala ular kembar

perpisahan adalah kenangan yang wajar
mengajarkan arti sabar agar tak selalu tertangkap apa yang kau kejar
layaknya musim yang gemar memainkan suasana kepada semak dan belukar
atau matahari yang tekun terbit dan tenggelam dalam liputan waktu

ia pun selalu nampak cerah dalam harapan musim dan cuaca 
meski ia hanya diam namun ia tidak seperti menunggu 
dan ia pergi namun tak meresa dikejar, 
kenangan akan bergegas ke rahim sejarah yang ramah atau samar
menimang ingatan cinta yang telah berlalu pada janji